Turkle, S. (2011). Alone Together: Why we expect more from technology and less. New York: Basic Books.
Alone Together, Cover Page

Alone Together, Sherry Turkle, 2011

Beberapa bulan lalu saya bertemu dengan seorang kawan lama dalam sebuah konferensi psikologi. 3 tahun lalu kami sama-sama miskin, mahasiswa yang idealis dan penolak kemapanan. Teknologi canggih masih jauh dari impian kami. Saya ingat ketika kami sama-sama mengeluarkan ponsel kami. Nokianya butut dan monokrom sementara ponsel saya yang Android zaman awal dulu tidak jauh lebih baik. Kini kami telah sama-sama bekerja, tetapi dengan gadget yang jauh berbeda. Di acara itu ia duduk di sebelah saya, sibuk dengan smartphone Android Kitkat-nya yang anyar, tentu lebih elit daripada smartphone saya yang keluaran 3 tahun lalu.

Silih berganti para pembicara membawakan presentasi. Selama itu pula saya menoleh secara periodik. Saya bisa melihat teman saya ada di sana, tetapi ia tidak ada di sana. Ia ada di atas atmosfer bumi, dengan smartphone­-nya sebagai pesawat ulang-alik. Smartphone-nya selalu ada ketika ia mulai menguap mendengarkan pembicaraan yang membosankan. Smartphone hadir ketika ia selesai bicara dengan orang lain saat jam makan siang, mengkoneksikannya dengan kolega-kolega yang selalu ada di kampung halamannya. Ia makan malam dengan saya, tetapi pikirannya sedang di dunia “One Piece. Ketika tak ada seorang pun mengajak bicara, ia tidak berlama-lama menunggu untuk masuk ke dalam pesawatnya dan meroket ke tempat ia ingin berada, diterima dan nyaman. Kukenalkan seorang kawan wanitaku yang masih single padanya, ia datang dengan mata masih melekat pada layar BBM-nya.

Ketika saya pulang, saya merenungkan betapa ia tidak tahu banyaknya ia telah kehilangan.

“Alone Together,” karya Sherry Turkle (2011) berangkat dari sebuah perenungan tentang kehilangan manusia akibat relasinya dengan teknologi, semacam yang saya alami tadi. Turkle adalah seorang psikoanalis dan profesor di MIT, Amerika. 19 tahun lalu, dalam “Life on the Screen,” Turkle menulis bahwa manusia menggunakan internet untuk bereksperimen dengan kepribadian dan identitas mereka. Bagai mencoba beraneka pakaian, mereka dapat bereksplorasi, lalu simply mematikan komputer dan kembali kepada kehidupan nyata. Suatu catatan optimistik di masa permulaan cyber-world. Namun pengalaman perjumpaannya dengan orang-orang yang bertumbuh dan berelasi dengan teknologi membangun suatu ketakutan dalam dirinya. “Alone Together” ditulis 16 tahun kemudian lebih sarat peringatan daripada optimisme. Ditulisnya di halaman pembuka, “To Rebecca. My letter to you, with love,sebagai nasihat, peringatan, bimbingan; bukan hanya bagi sang putri, tetapi juga bagi orang-orang lain yang seusia Rebecca (Meer, 2012).

The Robotic Moment

Buku ini terdiri dari dua bagian besar. Pada Bagian Pertama, “The Robotic Moment,” Turkle membahas relasi yang terbangun antara manusia dan robot. Ia tampak terhenyak oleh kenyataan bahwa orang cenderung memiilh relasi dengan robot daripada manusia sungguhan, berapa pun usia mereka. Ia juga menggambarkan sebuah gerakan perkembangan teknologi robot: Dari yang dulunya didesain untuk meminta perhatian manusia, kini robot dapat memperhatikan manusia.

Ada beberapa poin menarik yang dapat ditarik dari “The Robotic Moment.” Pertama, Turkle mengamati bahwa manusia, terutama anak-anak, memperlakukan robot-robot peminta perhatian sebagai benar-benar hidup. Mereka bahkan dapat “berempati” dengan “penderitaan” benda mati semacam Tamagotchi, Furbie, atau robot bayi. Bisa jadi mirip dengan kecenderungan manusiawi kita untuk “berempati” kepada binatang peliharaan. Rupanya robot dihadirkan dengan mengambil manfaat dari titik rapuh kita, yaitu perasaan dan kemanusiaan kita. Kedua, ketika mengamati bagaimana kakek dan nenek berelasi dengan caretaker robot di rumah jompo, Turkle tampak terkejut dengan kenyataan bahwa mereka tampak nyaman dengan relasi yang artifisial tersebut. Sang robot berwujud anak anjing laut tampak mendengarkan dengan seksama, seolah dapat mengikuti percakapan, sementara sang pembicara tampak tidak mempermasalahkan kepalsuan perasaan dipahami oleh robot itu. Tetapi orang-orang di sekitarnya senang dengan kenyataan itu, sama sekali tidak ambil pusing dengan kenyataan bahwa sang manusia sedang merasa dipahami oleh sesuatu yang tidak akan pernah memahaminya.

Networked

Dalam bagian yang kedua, “Networked,” Turkle beralih dari relasi manusia dengan robot kepada pembahasan mengenai teknologi sebagai perantara hubungan antar manusia. Meski Turkle mengakui adanya dampak positif perkembangan teknologi bagi relasi antar manusia, studi-studi kasusnya memperingatkan bagaimana orang menjadi teralienasi satu sama lain karena teknologi.

Analisis Turkle terhadap subjek-subjeknya sesuai dengan latar belakangnya sebagai psikoanalis. Turkle mencatat bahwa banyak memiliki cemas terhadap ketidakpastian dan kekacauan hubungan tatap muka. Mereka menggunakan teknologi sebagai perantara relasi karena kecemasan mereka terhadap ketidakpastian, kekacauan, dan banyaknya beban dari hubungan tatap muka. Berkirim pesan, surat elektronik, status posting, dan sebagainya memungkinkan kita menghadirkan diri kita dengan taraf kontrol yang kita inginkan. Kita nyaman karena ia bisa diedit, bisa dihapus. Kita bisa mengkonstruksi dan merekonstruksi kehadiran diri secara – dalam istilah Turkle – “not too little, not too much, just right.” Ia menyebut fenomena ini dengan nama “The Goldilocks Effect” (Turkle, 2012). Hampir ironi, sebab kenyataannya kontrol tersebut hanyalah ilusi: Kita tidak akan bisa sepenuhnya melarikan diri dari apa yang telah kita posting di dunia maya.

Akhirnya, Turkle memperingatkan bahwa karena teknologi, psyche manusia menjadi datar dan tereduksi. Bangunan, seperti kata Winston Churchill, dibangun oleh kita. Tetapi pada gilirannya ia juga akan membangun kita. Ada aspek relasi yang tidak mungkin sepenuhnya dihantarkan oleh teknologi. Media mereduksi hubungan ke dalam batasan-batasan dalam media tersebut. Ia hanya akan memberi kita potongan-potongan dari keberadaan orang lain. Kita tidak akan pernah dapat memahami dan mengenal satu sama lain tanpa hubungan tatap muka tanpa perantara. Kita menyeleksi tempat di mana kita ingin berada dan bagian dari diri orang lain yang ingin kita kenali; kita membuang sisanya dan menganggapnya tidak penting.

Ketika kita kehilangan kemampuan berelasi dengan orang lain dan menanggung risiko-risikonya, kita juga kehilangan kemampuan untuk bercakap-cakap dengan diri kita sendiri dan menanggung risiko pengenalan diri. Turkle memperingatkan bahwa berbagi (sharing) telah menggantikan refleksi diri sebagai sarana relasi kita dengan psyche kita sendiri. Teknologi yang kita anggap membuat kita terkoneksi dengan orang lain justru membuat kita semakin sendirian di dunia ini. Koneksi dengan teknologi menjadi pemangsa tujuannya. Kita sangat takut sendirian. Bila smartphone kita kehabisan baterai, kita cemas. Bila kita sendirian mengantri, atau bosan dalam sebuah rapat, kita mengeluarkan tablet kita. Tetapi koneksi tidak menyembuhkan: Ia hanyalah gejala dari kesepian kita. Pada gilirannya, koneksi membangun psyche kita: “I share, therefore I am” (Turkle, 2012).

Turkle banyak mendapatkan pujian dari khayalak karena “Alone Together.” Namun banyak pula kritik terhadapnya. Saya sendiri melihat bahwa pesan Turkle adalah separuh profetik. Ia melihat kemungkinan teknologi mereduksi kemanusiaan kita daripada memenuhi iklan dan misinya, yaitu memenuhkan memungkinkan kita menjadi makhluk yang transenden. Daripada mencoba menawarkan konsep ideal atau tips-tips normatif, ia berusaha menganalisis tanpa keberpihakan, khas psikoanalisis. Sekalipun tidak didukung oleh data-data kuantitatif, catatan-catatan naratif Turkle sudah cukup bila dilihat dari sudut pandang psikoanalitik yang kualitatif.

Pandangan Turkle yang bernada negatif terhadap perkembangan teknologi tidak boleh dipandang sebagai pesimisme atau paranoia. Turkle menawarkan kesendirian dan keterpisahan dari teknologi sebagai hal sakral yang menjadikan kita manusia seutuhnya. Bahwa tidak apa-apa bersalah dan memperlihatkan kelemahan kita dalam relasi tatap muka yang tidak bisa kita kontrol. Bagaimana pun juga, bukanlah koneksi yang terpotong-potong dan terkontrol, namun justru kerapuhan tatap mukalah yang membuat kita mengenal diri dan orang lain sepenuhnya. Turkle memperingatkan kita supaya kita dapat menyesuaikan pengembangan teknologi kita yang masih panjang di depan menjadi lebih bersahabat bagi relasi satu sama lain, bagi kesejahteraan tubuh dan jiwa kita. Memang, psyche manusia akan terus berevolusi sesuai konteks zaman. Tetapi perkembangan teknologi tidak boleh mengabaikan kebutuhan dan motif dasar yang menjadikan kita manusia, yaitu relasi dan kerapuhan. “Alone Together” adalah peringatan supaya teknologi tidak memangsa tujuannya, melainkan menjadikan kehidupan ini sebagai hidup yang dapat kita cintai.

 

Daftar Baca

Lehrer, J. (2011, January 21). We, Robots. Retrieved from New York Times: http://www.nytimes.com/2011/01/23/books/review/Lehrer-t.html

Meer, R. v. (2012, May 20). Review of Alone Together. Retrieved from In the Nexus: http://inthenexus.net/2012/05/20/review-of-alone-together/

Turkle, S. (2011). Alone Together: Why we expect more from technology and less. New York: Basic Books.

Turkle, S. (2012, April). Alone Together: Connected, but alone? Retrieved from TED.com: http://www.ted.com/talks/sherry_turkle_alone_together

 

 



Name (required)

Email (required)

Website

Speak your mind