Oct
20
Summary: Structural Family Theory
October 20, 2014 | Book, Family Psychology, Psikologi, Review, Theory | 4 Comments
Teori Keluarga Struktural dicetuskan oleh Minuchin pada tahun 1960-an. Teori ini berfokus pada konteks dalam keluarga daripada pada masalah dan solusi individual. Sebagaimana teori-teori struktural dalam konteks keilmuan yang lain, teori ini menggunakan metafora-metafora spasial dan organisasional, serta melibatkan arahan aktif sang terapis.
Tesis besar Teori Keluarga Struktural kira-kira sebagai berikut:
- Sebagaimana organisme, sebuah keluarga memerlukan bentuk penataan internal yang mengatur bagaimana setiap anggotanya saling berelasi, yang disebut struktur keluarga.
- Keluarga fungsional adalah keluarga yang strukturnya cukup fleksibel dan resilien untuk menghadapi transisi-transisi keluarga.
- Simptom-simtom individual berakar pada pola transaksional dalam keluarga, sehingga perubahan tatanan atau struktur keluarga perlu terjadi supaya simtom tersebut hilang.
- Terapis harus berperan sebagai pemimpin yang aktif, direktif, dan kreatif sehingga mampu melakukan perubahan struktur atau konteks seputar sistem tersebut.
- Teori Keluarga struktural memiliki konsep idealnya sendiri tentang bagaimana seharusnya penataan hierarki keluarga (generic rules), dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbedaan individual (idiosyncratic rules).
Oct
20
Book Review: Alone Together, Sherry Turkle (2011)
October 20, 2014 | Book, Cyberpsychology, Psikologi, Review | 2 Comments
Beberapa bulan lalu saya bertemu dengan seorang kawan lama dalam sebuah konferensi psikologi. 3 tahun lalu kami sama-sama miskin, mahasiswa yang idealis dan penolak kemapanan. Teknologi canggih masih jauh dari impian kami. Saya ingat ketika kami sama-sama mengeluarkan ponsel kami. Nokianya butut dan monokrom sementara ponsel saya yang Android zaman awal dulu tidak jauh lebih baik. Kini kami telah sama-sama bekerja, tetapi dengan gadget yang jauh berbeda. Di acara itu ia duduk di sebelah saya, sibuk dengan smartphone Android Kitkat-nya yang anyar, tentu lebih elit daripada smartphone saya yang keluaran 3 tahun lalu.
Silih berganti para pembicara membawakan presentasi. Selama itu pula saya menoleh secara periodik. Saya bisa melihat teman saya ada di sana, tetapi ia tidak ada di sana. Ia ada di atas atmosfer bumi, dengan smartphone-nya sebagai pesawat ulang-alik. Smartphone-nya selalu ada ketika ia mulai menguap mendengarkan pembicaraan yang membosankan. Smartphone hadir ketika ia selesai bicara dengan orang lain saat jam makan siang, mengkoneksikannya dengan kolega-kolega yang selalu ada di kampung halamannya. Ia makan malam dengan saya, tetapi pikirannya sedang di dunia “One Piece.“ Ketika tak ada seorang pun mengajak bicara, ia tidak berlama-lama menunggu untuk masuk ke dalam pesawatnya dan meroket ke tempat ia ingin berada, diterima dan nyaman. Kukenalkan seorang kawan wanitaku yang masih single padanya, ia datang dengan mata masih melekat pada layar BBM-nya.
Ketika saya pulang, saya merenungkan betapa ia tidak tahu banyaknya ia telah kehilangan.
“Alone Together,” karya Sherry Turkle (2011) berangkat dari sebuah perenungan tentang kehilangan manusia akibat relasinya dengan teknologi, semacam yang saya alami tadi. Turkle adalah seorang psikoanalis dan profesor di MIT, Amerika. 19 tahun lalu, dalam “Life on the Screen,” Turkle menulis bahwa manusia menggunakan internet untuk bereksperimen dengan kepribadian dan identitas mereka. Bagai mencoba beraneka pakaian, mereka dapat bereksplorasi, lalu simply mematikan komputer dan kembali kepada kehidupan nyata. Suatu catatan optimistik di masa permulaan cyber-world. Namun pengalaman perjumpaannya dengan orang-orang yang bertumbuh dan berelasi dengan teknologi membangun suatu ketakutan dalam dirinya. “Alone Together” ditulis 16 tahun kemudian lebih sarat peringatan daripada optimisme. Ditulisnya di halaman pembuka, “To Rebecca. My letter to you, with love,” sebagai nasihat, peringatan, bimbingan; bukan hanya bagi sang putri, tetapi juga bagi orang-orang lain yang seusia Rebecca (Meer, 2012). Click Here To Read More
Oct
20
Journal Review: Constructing the Self through Photo Selection
October 20, 2014 | Jurnal, Psikologi, Review | 2 Comments
Saya membaca sebuah jurnal berjudul “Constructing the Self through the Photo Selection – Visual Impression Management on Social Networking Websites” oleh Andra Siibak (2009). Siibak menggunakan teori Erving Goffman (1959/1990) mengenai impression management untuk melihat bagaimana individu mengkonstruk self-nya di dunia maya melalui sebuah avatar, yaitu foto profil. Beberapa poin menarik:
- Komunitas online telah menjadi semacam “bengkel identitas,” tempat orang-orang mengkonstruksi dan merekonstruksi beragam self-domain mereka. Tempat bereksperimen dengan identitas. Identitas di media sosial adalah perpaduan antara konsep diri dan ekspektasi significant others mereka di media tersebut.
- Orang cenderung terlibat dalam aktivitas di media sosial untuk mengkomunikasikan impresi kepada orang lain sesuai dengan apa yang menurut mereka baik.
- Kita terus menerus memonitor self kita dengan tujuan mendapatkan perkenan dari orang lain dan memberikan impresi positif tentang diri kita sendiri. Proses ini dilakukan secara sadar maupun tak sadar.
Contoh: Secara tak sadar, saya sering mengedit gambar dan tulisan saya di media sosial berkali-kali hingga saya puas dengan efek “keren” yang akan saya timbulkan. - Individu cenderung menekankan atau meredam aspek-aspek tertentu dari self-nya, tergantung konteks situasi yang dihadapi. Individu berusaha mencitrakan diri sesuai norma dan ideal-self menurut kelompoknya atau kelompok yang ia ingin masuki.
- Anak-anak muda sangat sadar, hati-hati, dan strategis terhadap aspek-aspek yang diperlukan seseorang untuk menjadi populer di media.
- Ideal-self bermain di sini: Anak muda mengkonstruk self mereka di media sosial mengikuti apa yang berkenan bagi significant others mereka. Self yang seharusnya dan self yang sebenarnya diatur sesuai kondisi, dengan mudah bisa di-“main-main”-kan.
Contoh: Saya bicara banyak tentang politik di facebook, serta memposting foto-foto yang dapat memicu memori teman-teman baik saya atau dosen yang populer. - Manajemen impresi perempuan dan wanita berbeda: Perempuan lebih memperhatikan pedoman dari significant others, sementara laki-laki lebih pada pedoman yang ditentukan diri sendiri.
Contoh: Kekasih saya memasang foto dan status-status indah yang menimbulkan impresi positif (banyak like), sementara saya lebih jujur dan apa adanya karena idealisme saya sendiri (sedikit like). Ia selalu memasang foto profil tercantik, sementara saya tak ragu untuk memasang foto terjelek asalkan itu menyimbolkan sesuatu.
Sumber Baca:
Siibak, A. (2009). Constructing the Self through the Photo selection – Visual Impression Management on Social Networking Websites.Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 3(1), article 1.
http://cyberpsychology.eu/view.php?cisloclanku=2009061501&article=1